Header Ads

Mesjid Al-Abror Dolok Merangir


MESJID INI dinamai Al-Abror, sebutan dalam bahasa Arab yang artinya, "Golongan Orang-Orang Yang Berbuat Kebaikan". Dibangun pasca pecahnya peristiwa G30S-PKI, saat mana seluruh asset Goodyear Sumatra Rubber Plantation Co. Ltd beralih ke Pemerintah RI yang kemudian mempercayakan pengelolaan manajemennya kepada Direksi PPN-XVII.
Peletakan batu pertama dilaksanakan pada tanggal 27 April 1966 oleh Direksi PPN-XVII, dan 8 bulan kemudian, yakni pada 12 Januari tahun 1967 diresmikan sebagai mesjid jami' pertama Dolok Merangir, bertepatan dengan pelaksanaan shalat berjamaah idul fitri 1 Syawal 1386 H.
Sejak saat itu, mesjid Al-Abror seolah menjadi Mesjid Agung bagi warga Dolok Merangir. Karena sekalipun di sekitarnya masih ada, dan di kemudian hari bermunculan pula mesjid-mesjid baru, namun hampir semua kegiatan besar keagamaan Islam selalu terpusat di mesjid ini. Sedangkan satu-satunya perumahan karyawan di seluruh wilayah perkebunan Karet Dolok Merangir, Dolok Ulu, Nagaraja, bahkan Aek Tarum yang diberi nama Pondok Mesjid hanya perumahan di sepanjang jalan menuju mesjid Al-Abror ini.

Mufti pertama Mesjid Al-Abror adalah Haji Bahrum, seorang guru agama yang disegani dan dohormati oleh banyak orang. Sedangkan wakilnya yang kemudian menjadi suksessor beliau adalah Ustadz Batubara, seorang guru mengaji yang juga sangat dihormati, yang di kemudian hari banyak melahirkan "santri-santri", bahkan guru mengaji jebolan mesjid Al-Abror yang teruji kualitasnya sehingga dipercaya untuk melanjutkan proses belajar mengajar Islam di Mesjid Al-Abror bagi generasi-generasi selanjutnya.

Sosok lain yang akrab dan memberi warna tersendiri pada Mesjid Al-Abror pada masa itu adalah Pak Yakub, seorang mekanik perusahaan asal Aceh yang dahulunya mungkin seorang Qori,  tapi oleh warga Dolok Merangir lebih dikenal dengan panggilan takzim; Wak Akub.  Setiap bulan ramadhan tiba, khususnya saat shalat tarawih berjamaah, suara wak Akub yang sangat khas dan sedap didengar selalu ditunggu-tunggu oleh jamaah. 

Mesjid dengan kapasitas antara 200 s.d 250 jamaah yang tidak diketahui pasti siapa arsiteknya ini hanya memiliki 1 menara, dan pada awalnya dulu, sebelum hadirnya loudspeaker dan Toa, maka mirip dengan di mesjid-mesjid tradisional tempo doleoe, setiap tiba waktu shalat 5 waktu, Muazin harus naik dulu ke puncak menara guna mengumandangkan suara adzannya!

Pemandangan sekitar Mesjid dari puncak menara setinggi lebih kurang 15 meter ini sangat menarik, terutama tentunya bagi bocah-bocah yang serba ingin-tahu. Oleh karenanya tidak sedikit dari mereka yang berusaha untuk curi-curi naik ke puncak menara melalui rangkaian tangga besi di dalamnya bila kebetulan pintu menara sedang tidak terkunci dan tidak ada pula yang mengawasi.

Ya, anak-anak memang dilarang keras "main" ke puncak menara demi keselamatan mereka sendiri. Sedangkan bagi yang pernah sukses memenuhi rasa ingin tahunya sampai ke puncak menara, selain pemandangan yang baru dilihatnya, biasanya dia akan turun membawa cerita tambahan, bahwa di dalam menara mendapati adanya tulang-belulang makhluk-makhluk seukuran kepalan tangan orang dewasa. Bisa jadi tulang tikus, katak, atau makhluk lainnya. Dan teman-temannya yang sudah lebih dulu tahu - kemudian melakukan observasi - akan menjelaskan bahwa semua itu adalah sisa-sisa makanan burung hantu yang sudah sejak lama nampaknya memang betah menjadi penunggu menara!

Mesjid berukuran 10M x 15M yang terletak di tengah-tengah areal seluas 400 M2 ini tidak berpagar tapi dikelilingi oleh pepohonan rindang dan beberapa pohon kelapa yang di antaranya kini sudah berusia lebih dari setengah abad.

Sedangkan sama seperti sejak awalnya dulu, areal kosong di seputar bangunannya selalu dipenuhi rumput hijau yang relatif terawat, diselingi oleh beberapa tanaman hias yang kendati ditata sangat sederhana, namun terlihat asri.

Foto: Suryono Hadi
Adapun interior Mesjid tampak sangat simpel, sama sekali tidak ada hiasan, atau ornamen bergaya Islami seperti yang pada umumnya biasa ditemui di dalam mesjid-mesjid lain, kecuali hanya sebuah jam dinding berukuran besar di atas ruang mihrab dan gambar berbingkai warna emas di sudut kanan dinding bagian depan mesjid.

Foto: Suryono Hadi
Foto: Suryono Hadi
Desain mimbar bergaya arsitektur klasik Jawa dengan kombinasi cat warna hijau tua dan putih yang diletakkan di dalam mihrab juga terlihat sangat sederhana, namun sekilas pandang tampak memenuhi fungsinya.

Sedangkan alas lantainya, selain bercorak dan lebih elegan, karpet untuk 3 saft makmum di belakang imam sedikit lebih tebal dibandingkan dengan karpet di belakangnya yang seluruhnya berwarna hijau dan tampak sudah mulai usang.

Pada waktu-waktu tertentu, anak-anak keluarga Muslim yang belajar mengaji di mesjid ini biasanya duduk setengah melingkar mengelilingi ustadz dan ustadzah mereka, atau berjajar di karpet yang lebih tebal tadi.

Adapun pemisah antara jemaat pria dan wanita (biasanya saat shalat Tarawih) yang pada awalnya dulu diantarai oleh tirai kain berwarna putih yang dihubungkan dengan seutas kawat dari satu ujung ke ujung lainnya, sudah diganti dengan kain berwarna biru muda dengan partisi model ruang IGD atau ruang rawat inap di Rumah Sakit.


Foto: Suryono Hadi

Warna dinding dan pilar-pilar plaza yang terletak di antara tempat berwudhu dan ruang dalam Mesjid tampak sudah agak kusam, namun lantai keramiknya tampak tetap terawat dan mengkilap seperti dahulu kala.

Banyak bocah-bocah Muslim dari generasi ke generasi yang dulu akrab dengan aktifitas wajib maupun ekstra kulikuler mereka di Mesjid Al-Abror yang mengukir sejarahnya sendiri-sendiri di seputar plaza ini.

Dari bagian Mesjid inilah kemudian tidak sedikit pula dari mereka tumbuh dewasa dengan membawa kenangannya masing-masing, sehingga di kemudian hari sama-sama sepakat untuk menganggap Mesjid Al-Abror sebagai salahsatu dari sekian situs bersejarah Dolok Merangir bagi mereka. 

REKONDISI
Setelah 52 tahun berfungsi sebagai rumah ibadah umat Islam Dolok Merangir dan sekitarnya, Mesjid tua yang dibangun oleh manajemen PPN-XVII, lalu selama setengah abad dipelihara dengan baik oleh manajemen Goodyear ini dipandang perlu untuk direkondisi oleh manajemen Bridgestone.

Foto: Agus Mahrif

Awal April 2019, atau tepat setelah 53 tahun pembangunannya yang juga dimulai pada bulan April tahun 1966, Mesjid Al-Abror ditutup sementara guna menjalani proses rekondisi yang fokus pada projek modifikasi konstruksi atap dan kubah Mesjid, berikut, tentu saja, kubah menaranya.

Foto: Agus Mahrif

Hal ini dapat dimengerti, karena sekalipun rekondisi ini sama artinya dengan merobah keutuhan bentuk asli Mesjid Al-Abror, namun mengingat setelah setengah abad, bagaimanapun juga kayu-kayu penyangga konstruksi atap yang menopang kubah asli Mesjid pasti mengalami pelapukan dan pada titik tertentu beresiko mencelakai jemaat karena dapat ambruk secara tiba-tiba.

Selain mengganti atap dan lantai ruang dalam, tidak ada bagian lain dari mesjid Al-Abror yang dirobah kecuali diperbaharui, dipercantik, dan dicat ulang.

Setelah proyek rekondisi seluruhnya rampung pada bulan Mei 2019, maka terhitung sejak saat itu penampakan Mesjid Al-Abror dengan atap dan kubah barunya menjadi seperti ini.

Foto: Aan Sunaidi
DKM Mesjid Al-Abror mencatatkan untuk publik bahwa saat ini jumlah rata-rata jemaat mesjid adalah antara 150 s.d 200 orang, jumlah Khatib 10 orang, jumlah Muazin 15 orang, dan jumlah remaja mesjid sekitar 130 orang.


[Catatan NS | Dari berbagai sumber]


No comments

Powered by Blogger.