Header Ads

Kisah Mbah Kemi Dan Idul Adha


"Daging-daging dan darahnya itu tidak sampai pada Allah tetapi yang sampai padaNya adalah ketaqwaan dari kamu.............." (QS Al Hajj[22]:37)

SELAMAT IIDUL ADHA, HARI BERKURBAN, MEMBEBASKAN DIRI DARI PERBUDKAN HAWA NAFSU.

Di desa Kembang Kuning, Windusari, Magelang, Jawa Tengah; tinggal seorang pria tua bernama Muhammad Sukemi. Ia akrab disebut Mbah Kemi. Mbah Kemi sudah berada di desa ini sewaktu zaman Jepang. Mbah Kemi adalah romusha yang ditugaskan untuk membuat jalan. Mbah Kemi hidup sebatang kara, sebab telah 30 tahun lebih isterinya mengikuti puteri tunggal mereka mencari peruntungan nasib di Kalimantan. "Alamatnya tidak jelas, tapi saya dengar kabar ia sudah meninggal 5 tahun lalu", ujar Mbah Kemi yang masih segar bugar untuk usianya yang sudah mencapai 86 tahun.

Mbah Kemi tinggal disebuah gubuk berukuran 16 m2 yang dibuatkan oleh warga di jalur hijau jalan desa. Gubuknya beratap genting dan berdinding bilik. Untuk mengisi hari-harinya, Mbah Kemi rajin mengikuti pengajian walau harus berjalan kaki puluhan kilometer ke desa tetangga. Ia juga pecandu kitab kuning. Aneka kitab klasik menjadi koleksi pribadinya. Jika ada yang memberi sedekah, selalu ia tabung untuk membeli kitab. Mbah Kemi percaya, bahwa menuntut ilmu wajib bagi muslim. "Dari mbrojot (lahir) sampai mati, harus tetap ngaji", katanya menyitir sebuah hadits.

Dalam kesederhanaan hidup tak ada kekhawatiran singgah di hatinya. Hari-harinya penuh kebahagiaan dan semangat mengaji yang meluap-luap. Urusan perut bukan hal yang prioritas baginya. Jika ada snack di pengajian dibawanya pulang. Satu dus snack bisa untuk isi perut sampai tiga hari. Sepiring nasi pemberian Bu Carik dinikmatinya dengan sepotong gorengan. Sepiring nasi itu mampu bertahan sampai empat hari. Dengan kondisi dikerubuti lalat, berlendir dan bau asam menyengat. Rizki itu selalu nikmat, begitu kata Mbah Kemi, ia tidak pernah sakit perut karenanya.

Di gubugnya yang sempit, Mbah Kemi berbagi dengan Mbah Suhli seorang pria jompo kurang waras, dan tak jelas asal usulnya. Selain berbagi dengan kakek majnun, Mbah Kemi juga harus berbagi ruang dengan seekor ayam betina yang sedang mengeram dan 2 ekor kambing jawa. Menurut penuturannya, dulu ia diberi uang, lalu ia tabung, kemudian ia belikan ayam dan marmut (sejenis hamster agak besar) sepasang. "Marmutnya beranak 23 ekor, jantannya cuma satu. Cucunya tidak kehitung banyaknya. Kalau saya jalan sampai harus hati-hati agar marmut-marmut itu tidak terinjak ".
Marmut dan ayam kemudian ia jual dan dibelikan 2 ekor anak kambing. "Nanti kalau saya mati, kambingnya biar dipotong buat orang-orang yang mengurusi jenasah saya". Tapi karena maut tak kunjung tiba, Mbah Kemi mengubah niatnya. "Kambingnya sudah besar, sebentar lagi Idul Adha. Jadi, nanti dipotong buat kurban saja." Sebenarnya Simbah ingin sekali pergi haji. "Tapi kalau tidak bisa ke Mekah, ya, motong hewan kurban saja dulu!" katanya.
Subhanallah!
Berkurban, bukan hak orang yang berpunya saja, tetapi disunnahkan bagi muslim yang mampu. Tolok ukur kemampuan bukan melulu kelimpahan materi. Hadist Nabi mengatakan, "Aku diperintahkan (diwajibkan) untuk menyembelih kurban, sedang kurban bagi kamu adalah sunnah". [HR. Tirmidzi]

No comments

Powered by Blogger.