Surat Sehat Calon Pejabat
Menjelang pemilihan kepala daerah adalah musimnya minta surat sehat. Surat ini diperlukan sebagai syarat bisa lolos menjadi "bakal calon" pejabat. Orang bertanya: apakah surat sehat betul mewakili maksud di belakang tujuan membersyaratkannya? Atau masih sekadar formalitas belaka?
Dokter kita belum punya standar baku membuat surat sehat. Belum pula yang khusus buat calon pejabat. Lengkap-tidaknya dokter melakukan pemeriksaan medis sebelum surat sehat ditandatangani, otoritas sertifikasinya tetap dianggap legal. Kendati betapa tak jujurnya pun dibuat, surat sehat bersifat absolut dan final.
Yang acap terjadi, alih-alih dokter memeriksa secara lengkap, sering-sering seadanya. Bukan rahasia lagi ada surat sehat dibuat saat yang memintanya lagi main golf, misalnya. Lumrah ketika surat sakit diterbitkan, pada saat yang sama resep perlu ditulis. Buah dari pengingkaran medis oleh dokter model begitu tetap dianggap sah. Sudah lumrah sebagian surat sehat kita terbit secara imajiner. Maka bukan bohong melihat ada yang gigi depan pemegang surat sehat kita ternyata ompong semua dan matanya kecil sebelah.
Membuat surat sehat berarti mendiagnosis sehat. Mendefinisikan sehat lebih sukar dibanding mendiagnosis penyakit. Kalau dalam mendiagnosis penyakit saja bisa bias, apalagi memastikan seseorang betul sehat.
Sebuah survei regional menyebutkan hanya 67 dari 1.000 orang yang dinyatakan sehat betul-betul sehat. Separuh dari yang dinyatakan sehat sebetulnya memerlukan terapi (Albert Beveridge). Lalu apa jadinya kalau dokter memeriksa seadanya atau mungkin malah lupa memeriksa.
Untuk tepat mendiagnosis sehat, diperlukan fakta medis. Melacak fakta medis tak cukup di kamar praktek semata. Banyak fakta medis tersembunyi yang perlu dikorek. Untuk itu perlu bantuan pemeriksaan tambahan. Idealnya diperiksa semua. Tak cukup cuma buka baju dan celana kolor.
Teknologi pemeriksaan medis sekarang semakin jeli menangkap setiap penyimpangan medis serumit apa pun. Yang jadi wacana kita sekarang: apakah kejelian alat medis selincah itu buat menapis calon pejabat sudah dianggap perlu? Atau cukup saja biarpun sering ayan asalkan ulung debut keberpolitikannya.
Boleh dipastikan hampir semua bakal calon pejabat kita tak mulus sosok sehatnya. Alih-alih bugar total, mesin fisiknya pun wajib disangsikan. Pola dan gaya hidup rata-rata politikus kita semua orang tahu. Risiko untuk jatuh sakit yang dipikulnya pun sering bukan cuma satu. Boleh jadi tinggal menunggu sontekan stres kecil saja sebelum penyakit fatalnya dadakan menyerang. Pejabat terjatuh saat berpidato bukan kejadian langka. Maka yang diperlukan bukan hanya "surat berbadan sehat" belaka, melainkan status sehat jiwa, sosial, dan spiritual juga (total fitness).
Orang bertanya: apa perlunya pejabat harus sehat luar-dalam? Tentu saja perlu. Menjadi petugas kebersihan saja perlu sehat, apalagi yang harus memeras otak supaya rakyat sejahtera.
Menjadi pejabat perlu otak yang tidak hanya dituntut jernih, tapi juga dilarang kotor. Pejabat yang pikun, bicaranya ngawur, dan pengambilan keputusannya tak tepat dan malah sesat niscaya mencelakakan rakyat. Stroke bisa bikin otak jadi kikuk dalam berpikir dan mengambil keputusan.
Demikian pula jika jantung kendur. Otak dan jantung bersinergi menampilkan kinerja prima. Stroke juga bisa muncul kalau jantung pincang. Maka, paling kurang, otak dan jantung para calon pejabat perlu dipastikan belum oleng.
Untuk sampai pada kesimpulan medis itu, tak cukup dokter cuma omong-omong. Apalagi kalau sampai dokternya tidak tahu siapa orang di surat sakit yang dibuatnya. Pejabat tak bugar besar dampak sosialnya. Bagaimana bisa penuh mengurus rakyat kalau otak keruh dan jantung sering bergemuruh?
Kalau ingin semua pejabat kita tampil optimal, surat sehat tak boleh dusta. Kalau masih terjadi inflasi surat sehat, rakyat harus memikul efek samping bila surat sehat lumpuh. Maka tak bisa main-main melabeli si calon pengambil keputusan buat orang banyak.
Untuk membuat surat sehat calon pejabat, otak dan jantung tak boleh luput diperiksa. Otak yang mulai singit dan jantung yang doyong gampang dideteksi. Calon pejabat yang kedapatan silent stroke atau silent myocardial infarction, misalnya, rawan bila dibiarkan memimpin rakyat. Tinggal selangkah untuk stroke atau serangan jantung.
Bukan itu saja. Teknologi pencitraan otak sudah canggih membaca semua fungsi dan kerja otak. Kegiatan pengambilan keputusan, bersolusi, sistematika berpikir, dan penalaran, semua itu memerlukan otak yang bugar. Hanya pada pejabat yang otaknya belum singit, keputusan yang diambil bisa tepat.
Jantung juga begitu. Dengan alat pencitraan jantung mutakhir (MRI-64 Slices), misalnya, kelainan jantung sekecil apa pun sudah terdeteksi. Calon pejabat yang jelas kedapatan jantungan, selain membahayakan dirinya, berisiko merugikan rakyat yang bakal diurusnya kalau masih diangkat.
Susahnya, otoritas dokter kelewat besar. Juga dalam hal mendiagnosis sehat. Dokter begitu merdeka melabeli seseorang sakit ataukah sehat. Kalau surat sehat tidak sahih, ini bagian dari gejala iatrogenesis sosial. Dan itu terjadi karena birokrasi medis menghasilkan kesehatan yang buruk.
Bisa jadi itu juga andil profesi medis. Surat sakit dibuat bukan berdasarkan opini medis (imperialisme diagnostik). Akan begitu jadinya kalau kebenaran medis toleran dengan kebenaran politik dan opini publik. Dan kalau itu terjadi pada calon pejabat, efek samping surat sehat, masyarakatlah yang harus menanggungnya.
Sungguh kita butuh penyelenggara negara yang bugar luar-dalam. Kalau awalnya sudah tidak bugar, kinerja pejabat tentu tak optimal. Cerdas, politikus ulung, dan niat mengabdi saja tak cukup kalau mesin tubuh dan sosok rohani sudah pada kendur.
KOMPAS | 21-09-2006 | Opini | oleh dr. Handrawan Nadesul