Sekolah Moral
APA NAMANYA bila korupsi dianggap hak? Apa pula sebutannya bila kebenaran menjadi soal selera, dan moralitas jadi pilihan individu? Ketika nilai-nilai tak lagi netral, salah menurut Anda, tidak selalu berarti salah bagi saya? Berbohong, tidak jujur, boleh mencuri asal tidak ketahuan, menjadi budaya baru. Orang bilang, bangsa kita sedang berada di situ.
Utak-atik konversi nilai UAN tidakkah bentuk peneladanan praksis korupsi oleh penguasa di depan hidung anak didik setidaknya menurut Drost (Kompas,21/6/2004). Di balik simpang siur kebenaran penjualan tanker Pertamina dan sinyalemen mengongkosi DPR melancong ke mancanegara, contoh lenturnya moralitas kita.
Berita Indonesia kehilangan Rp 22 triliun dalam tiga tahun terakhir akibat korupsi, kedua terkorup di Asean setelah Myanmar (Koran Tempo 21/6/2004) bukti kian relatifnya kebenaran dipandang. Jadi, betul bila orang bilang bangsa kita tengah mengidap krisis kebenaran. Bangsa yang tak lagi cerdas membedakan yang benar dari yang salah.
Miris juga kita menyaksikan di televisi baru-baru ini seorang cawapres yang diundang ke kampus dicaci maki, disumpah serapah oleh sejumlah mahasiswa yang enteng dan amat sangar dilakukan di depan hidung orang yang pantas dituakan, alih-alih tahu menaruh hormat. Di mana salahnya jika cara berbicara, bersikap, dan bertindak rata-rata anak muda kita kini tak lagi mencerminkan adab dalam perangai mereka?
Jawabannya, mungkin ketiadaan pembudayaan. Tiap orang dilahirkan sebagai murid. Orang tumbuh berbudaya jika moral ditanamkan dan dipelihara. Kehidupan harus disikapi sebagai proyek moral dan keluarga merupakan sekolahnya.
Menurut Confusius, yang ingin mengatur hidup bangsanya harus mengatur hidup keluarganya. Yang ingin mengatur hidup keluarganya harus mengatur hidup pribadinya membentuk hati yang benar, kehidupan pribadi yang dibudayakan (memelihara hukum moral), dengan demikian kehidupan keluarga menjadi teratur. Keluarga yang teratur membangun bangsa teratur. Sudahkah bangsa kita yang beragama menempuhnya?
Boleh jadi belum sepenuhnya. Beragama tidak selalu paralel dengan bermoral. Beriman belum tentu serta-merta mengenal norma. Ada nilai dalam religiositas, ada norma dalam moralitas. Agama merupakan sekolah iman dan di dalam asuhan keluarga yang teratur moral bisa naik kelas.
Anak yang tak memiliki standar kebenaran dan moral, yang tak diajar pintar membedakan yang benar dari yang salah, akan hidup di pinggiran moral. Kondisi itu dialami sebagian besar anak muda AS kini. Riset Barna (George Barna and The Barna Research Group, Ltd) mengungkap anak-anak di banyak belahan dunia kini dibiarkan kehilangan sistem nilai.
Di AS generasi Baby Boomers angkatan Bill Clinton (yang lahir 1946-1964) dan generasi Baby Busters, yang lahir setelah 1964 sama-sama mengadopsi budaya yang tak selalu mengetahui perbedaan antara benar dan salah, antara manusia dan binatang, tak punya lensa moral tajam, tak menyimpan pandangan kebenaran yang kuat.
Selain kehilangan sistem nilai, ada yang merosot dalam warisan nilai tradisional anak- anak setelah generasi Bill Clinton. Empat faktor dianggap menjadi penyebabnya. Pertama, media massa membuat nilai permisif Barat secara mondial semakin menjadi sebahasa. Ketika media massa membuat pergaulan lintas kultur menjadi begitu akrab, dunia semakin kecil, dan imbas nilai rentan ditularkan dan diadopsi.
Ketika anak lebih banyak belajar nilai dari televisi (yang tak selalu realistis) ketimbang dari ayah-ibu, hampanya sistem nilai tradisional di sekolah yang hanya mengajar dan kurang mendidik, serta rumah yang cenderung menjadi "sarang kosong", sebab orangtua sibuk, menjadikan nilai dan norma yang tertanam dan tumbuh pada anak menjadi asing, absurd, dan boleh jadi teralienasi.
Penyebab kedua, pergerakan urbanisasi menggeser nilai yang dipetik dari keluarga besar (dengan hadirnya kakek-nenek, paman dan bibi) beralih ke nilai keluarga inti anak dibesarkan pembantu. Anak-anak kian terasing dari lingkungan tradisi dan cenderung menjadi besar bukan sebagai murid. Ketika sekolah lupa melakukan tugas pembudayaan, dan orangtua alpa, anak tumbuh tidak tahu aturan, tidak tahu diri, liar, alih-alih beriman bermoral. Iman tak mungkin naik kelas kalau Agama cuma mengajar, tetapi tidak mendidik.
Faktor ketiga, manakala imbas dunia semakin materialisme (neo-materialism). Ketika kemakmuran ekonomi dijadikan cita-cita anak dalam bersekolah, tuntutan generasi Baby Boomers akan pekerjaan dengan bayaran tinggi melahirkan sikap menghargai keuntungan materi di atas prioritas lainnya, termasuk menganggap bukan prioritas membina hubungan erat dengan Tuhan (lahirnya Newagers, Free-thinkers).
Ketika visi sekolah lebih untuk tujuan ekonomi ketimbang moral, kian menyuburkan budaya konsumerisme. Manakala budaya "petik hari ini dan tenggaklah sampai tandas", tujuan menghalalkan cara (Marchiavelism) kian dilumrahkan, kebenaran menjadi bias. Misal, dianggap lebih benar sikap berbuat tak halal untuk yang halal, ketimbang berbuat halal tetapi dipakai untuk yang tidak halal, seakan dosa punya strata.
Faktor penyebab keempat ada di sekolah. Ketika sekolah berubah menjadi "pabrik pendidikan" (menurut Glenn & Nelson), pendidikan nilai diserahkan orangtua kepada sekolah. Padahal, sekolah cenderung lebih mengajar ketimbang mendidik. Tanpa nilai dan norma, buku iman dan kitab moral anak tetap saja kosong ("tabula rasa"). Kesadaran moral anak tak tumbuh, pilihan dan pedoman moral langka, alih-alih terasah lensa moral dan kacamata iman anak bila kurikulum Agama cuma kognitif, bukan alih praksis, dan pendidikan budi pekerti nyaris sirna.
Orang bertanya apa lemahnya iman sebab utama sikap permisif masyarakat dan kehidupan pribadi? Bagi yang percaya bahwa iman dan moral itu dua kawasan berbeda akan menjawab bukan hilangnya rasa takut akan Tuhan yang bikin orang tak tahu malu, tak mawas, atau menjadi tak tahu diri. Orang dapat menemukan norma moral tanpa bantuan iman. Bukan sedikit orang ateis yang moralnya luhur. Bangsa beragama bukan jaminan niscaya elok moralnya. Iman bukan syarat psikologis buat moral. Bangsa kita agaknya tengah menisbikan etika, mengabaikan nilai kejujuran (Do-er mentality).
Di tengah pluralisme moral, perlu ada jalan dari iman ke etika. Agama bisa membuka pintu untuk kesediaan mengubah bukan-nilai menjadi nilai pada diri seseorang (devinely human). Seyogianya iman dan moralitas hampir selalu disebut bersama agar menjadi nyata bahwa moralitas merupakan ungkapan iman religius juga.
Jadi, sekolah moral sebuah anak bangsa itu sejatinya ada di dalam keteladanan pemimpin bangsa yang kehidupan pribadinya teratur sehingga kehidupan keluarga, masyarakat, dan bangsanya teratur. Sekolah moral juga hadir dalam pendidikan Agama yang bukan sekadar mengajar melainkan pintar pula dalam praksis ajaran Agama yang setiap tindakannya dibenarkan di mata manusia maupun di penglihatan Tuhan.
Sekolah Moral | Kompas | 30 Juni 2004 | Oleh dr. Handrawan Nadesul
Tulisan lama dari pak Dokter ini saya repost di sini pada 17 Februari 2009, dan berikut adalah respons pembaca, termasuk respons dari pak Dokter sendiri.
Tulisan lama dari pak Dokter ini saya repost di sini pada 17 Februari 2009, dan berikut adalah respons pembaca, termasuk respons dari pak Dokter sendiri.