DOLOK MERANGIR (1964 - 1966)
Sekembalinya keluarga kami dari Aek Nabara ke Dolok Merangir sekitar pertengahan tahun 1964, kami kembali menempati rumah gereja lagi. Tetangga terdekat kami masa itu adalah seorang warga muslim Pilipina dari kepulauan Luzon yang biasa kami panggil dengan sebutan takzim “Kek Haji Toledo.” Beliau beristrikan warga Indonesia di mana salah satu cucunya Nuraini (Kinong) kelak dipersunting oleh salah seorang putra Paklik Saripan, Mas Darwan.
Selanjutnya saya mendaftarkan diri ke SMPN-1 Serbalawan karena alasan jaraknya yang hanya 7 km dari rumah. Beberapa di antara teman saya sesama anak staff perkebunan Dolok Merangir ada juga yang bersekolah di Pematang Siantar.
Karena jaraknya yang tak seberapa jauh, saya biasa berangkat ke sekolah di Serbalawan dengan menggunakan sepeda (di Dolok Merangir kami imenyebutnya kereta angin atau lireng) melalui jalan pintas Rumah Sakit dan Taman Pemakaman Umum Dolok Merangir (di belakang hari, tempat ini kerap dikunjungi mantan anak-anak Dolok Merangir perantauan untuk berziarah ke makam orang tua atau keluarga), dengan harapan bisa bersepeda bareng dengan si neng ayu Nastiti dan adiknya Lestari Jadiono yang juga bersekolah di sekolah yang sama. Biasanya kami, yaitu saya, Alm. Nirwana dan teman-teman lainnya selalu berangkat dan pulang bareng melalui jalan ini.
Di sekolah, kami berkenalan dan akhirnya berteman baik dengan seorang anak Dolok Ilir bernama Surya Dharma Paloh, salahsatu putra dari Kapolres Serbalawan berpangkat Ajun Komisaris; Alm. Daud Paloh. Sejak itu, kami bertiga; saya, Alm. Nirwana dan Surya Paloh sering berkumpul, dan jalan bersama. Keluarga Surya Paloh seakan sudah menganggap kami bagian dari keluarga. Bahkan, tak jarang sepulang dari sekolah kami diajak oleh Surya Paloh untuk singgah makan siang di rumahnya. Suatu ajakan yang tentu saja sulit untuk ditolak!
Suhu politik yang semakin tinggi, apalagi dengan adanya Manifesto Politik (Manipol) Bung Karno yang berisikan; UUD'45, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia atau yang dikenal sebagai MANIPOL USDEK, seolah memberikan ruang bagi PKI untuk lebih intensif menyusun kekuatannya. Keadaan semakin runyam ketika Bung Karno menggelindingkan idenya untuk menciutkan semua kekuatan partai politik menjadi 3 ideologi yaitu Nasionalis, Agamis dan Komunis atau yang kemudian kita kenal dengan sebutan NASAKOM. Partai-partai yang kemudian muncul adalah Partai Nasionalis Indonesia (PNI) mewakili kaum Nasionalis, Nahdatul Ulama (NU) mewakili kaum Agamis dan Partai Komunis Indonesia (PKI) mewakili kaum komunis. Hal ini mendorong PKI menjadi partai yang sangat kuat pada waktu itu. Betapa tidak, DN Aidit yang menjadi Ketua PKI, diberi kepercayaan oleh Bung Karno menjadi Wakil Perdana Menteri-II setelah J.Leimena yang waktu itu menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri-I.
Persaingan di antara ketiga kekuatan sosial tersebut ternyata berimbas ke mana-mana termasuk ke dalam lingkungan sekolah di mana akhirnya mereka berlomba-lomba merekrut para siswa sekolah untuk menjadi pendukung, atau bahkan mendaftarkan mereka sebagai anggota salahsatu dari ketiga partai ini. Seringkali kami yang masih blo'on urusan politik, karena salah pilih, akhirnya terpaksa terlibat bentrok dan adu jotos antar sesama siswa!
Untuk memperkokoh jaringannya, PKI membentuk suatu badan sebagai wadah perjuangan mereka di lingkungan sekolah dengan nama Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) yang revolusioner dan terlatih baik. Sebagai reaksi atau penyeimbang, kami para siswa/i SMPN-1 Serbalawan yang dimotori oleh Surya Paloh, juga bergabung dalam kelompok lain yang diberi nama Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), sedangkan teman2 lain bergabung dalam kelompok Agamis Ikatan Pemuda Pelajar NU (IPNU).
Semakin gencarnya konfrontasi RI dengan Negara Malaysia ditambah lagi dengan adanya mobilisasi umum untuk menjadi tentara sukarelawan tempur yang akan dikirim ke pedalaman Kalimantan, plus adanya gerakan nasional untuk menasionalisasikan semua perusahaan asing telah memaksa seluruh warga Negara asing, termasuk warga Amerika yang merupakan pengelola NV Good Year Sumatra Plantatation Company meninggalkan Dolok Merangir pada pertengahan tahun 1965.
Mereka terpaksa menyerahkan seluruh assets dan pengelolaan perkebunan Dolok Merangir kepada pemerintah RI yang kemudian mempercayakannya kepada PTP Ampera-1. Duduk seagai Direktur Utamanya waktu adalah Bapak Koesmihadi dan Wakilnya adalah Bapak Amiruddin Gaffar yang sebelumnya adalah assisten di perkebunan Dolok Ulu.
Demi effisinensi dan efektifitas pengelolaannya maka perkebunan karet milik NV. Good Year yang berlokasi di Aek Nabara Kabupaten Labuan Batu kemudian di tukar-gulingkan dengan perkebunan Naga Raja dan Dolok Ulu, di mana jika tidak salah, yang menjadi Kepala pabrik di perkebunan Dolok Ulu waktu adalah Bapak Tambunan yang dikemudian hari digantikan oleh abang kami Syamsul Ma’rif’sampai tiba saatnya beliau pensiun dari perusahaan.
Era baru kepemimpinan perusahaan yang semuanya dikelola oleh bangsa sendiri, memberikan nuansa tersendiri bagi semua warga perkebunan Dolok Merangir dan mungkin semuanya berharap bahwa sebagai karyawan di perusahaan Negara, kehidupan ekonomipun akan menjadi lebih baik.
Untuk mengisi jabatan-jabatan puncak yang kosong karena ditinggalkan oleh pejabat sebelumnya, kemudian muncullah wajah-wajah baru yang merupakan pejabat setingkat Direktur, manejer dan staff mutasi dari berbagai PTP yang ditempatkan di PTP Ampera-1 Dolok Merangir. Mereka ini berasal dari beberapa perkebunan di seputar Sumatra utara, bahkan ada juga yang dari luar Sumatra.
Salah satu dari pejabat baru yang ditugaskan ke Dolok Merangir itu adalah Bapak Mogang Sinaga yang berasal dari NV Good Year Aek Nabara yang sudah di tukar-gulingkan dengan Naga Raja dan Dolok Ulu. Di manajemen baru ini beliau ditugaskan sebagai pejabat Administratur Perkebunan Dolok Ulu. ~ Bersambung.
[Hariswan Indra]
[Hariswan Indra]
- Baca kisah sebelumnya